.
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat
kita!! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita!
Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibnu Saud memerdekakan rakyat Arabia satu
persatu. Di dalam Soviet Rusia Merdeka, Stalin memerdekakan hati bangsa Soviet
satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara
berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria,
banyak desentri, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. “Sehatkan
dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka.”
Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu,
20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita
menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita
kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan
menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita
agar supaya menjadi kuat. Di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat
sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang
jembatan, jembatan emas, inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia
Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang
mahapenting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh
berpuluh-puluh pembicara bahwa sebenarnya internationaalrecht, hukum
internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan,
mengakui satu negara yang merdeka, tidaklah diadakan syarat yang neka-neka,
yang me-njlimet, tidak! Syaratnya sekadar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh!
Ini sudah cukup untuk internationaalrecht. Cukup, Saudara-saudara. Asal ada
buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh satu negara
yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli
rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak,
tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional
mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya
dan ada pemerintahannya, –sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaawichtig, lantas mau menyelesaikan
lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka
apa tidak? Mau merdeka apa tidak? (Jawab hadirin: Mau!).
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal
“merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar.
Paduka Tuan yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka
Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosophische
gronslag, atau jika kita boleh memakai istilah yang muluk-muluk, Paduka Tuan
Ketua yang mulia meminta suatu weltanschauung, di atas mana kita mendirikan
negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini bahwa banyak negeri-negeri yang
merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas
suatu wetanschauung. Hitler mendirikan Jermania di atas
“national-sozialistische weltanschaung”, –filsafat nasional-sosialisme telah
menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin
mendirikan negara Soviet di atas satu weltanschaung, yaitu marxistische,
historisch-materialistische weltanschaung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon
di atas weltanschaung, yaitu yang dinamakan Tennoo Koodoo Seishin. Di atas
Tenno Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibnu
Saud, mendirikan negara Arabia di atas weltanschaung, bahkan di atas dasar satu
agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang
mulia: Apakah weltanschaung kita jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang
merdeka?
Tuan-tuan sekalian, weltanschaung ini sudah lama harus kita
bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia
Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk
mengadakan bermacam-macam weltanschaung, bekerja mati-matian untuk
me-realiteit-kan weltanschaung mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya
tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata
bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja,
menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed:
“Soviet-Rusia didirikan dalam 10 hari oleh Lenin c.s.”, – John Reed di dalam
kitabnya, Ten Days That Shock the World, sepuluh hari yang mengguncangkan
dunia— , walaupun Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam sepuluh hari, tetapi
weltanschaung-nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah
tersedia weltanschaung-nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekadar perebutan
kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas weltanschaung yang sudah
ada. Dari 1895, weltanschaung itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905,
weltanschaung itu “dicobakan”, di-generale-repetitie-kan.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa
yang dikatakan oleh beliau sendiri generale-repetitie daripada revolusi tahun
1917. Weltanschauung itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan.
Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed. Hanya dalam 10
hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu
di atas weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah
pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan,
mendirikan negara Jermania di atas National-Socialitische Weltanschaung.
Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya
weltanschauung itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di tahun 1921 dan 1922
beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini,
weltanschauung ini, dapat menjelma dengan dia punya “Munchener Putsch”, tetapi
gagal. Di dalam tahun 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut
kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar weltanschauung yang
telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara
Indonesia merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah
weltanschauung kita, untuk mendirikan negara Indonesia merdeka di atasnya?
Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisc-materialisme? Apakah San Min Chu
I, sebagai dikatakan oleh Doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok
merdeka, tetapi weltanschauung-nya telah siap dalam tahun 1885, kalau saya
tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku The Three People’s
Principles, San Min Chu I –Mintsu, Min Chuan, Min Sheng –nasionalisme,
demokrasi, sosialisme– telah digambarkan oleh Doktor Sun Yat Sen weltanschauung
itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas
weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu
berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas
weltanschauung apa? Nasional-sosialisme-kah? Marxisme-kah, San Min Chu I-kah,
atau weltanschauung apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari
lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan –macam-macam— tetapi alangkah
benarnya perkataan Dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita
harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencari
persatuan philosophisce grondslag, mencari satu weltanschauung yang kita semua
setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes
setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang Saudara
Abikoesno setujui, yang Saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua
mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama
mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama,
Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka
untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia
Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk
mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang
kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik
Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun
saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan
negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu
negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan,
baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya –tetapi “semua buat semua”.
Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang
selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari
di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918,
25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara
Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan satu negara kebangsaan
Indonesia.
Saya minta Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan
Saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini!
Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada Saudara-saudara, janganlah
Saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat
Indonesia dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang
sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan
dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari lalu. Satu nationale staat
Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai Saudara Ki Bagoes
Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak
Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek Tuan pun bangsa Indonesia, datuk-datuk
Tuan, nenek-moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan
Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo
itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu nationale staat! Hal ini perlu diterangkan lebih
dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit
telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo
sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan, syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”.
Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa: le desir d’etre
ensemble, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang
menjadi bangsa, yaitu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya
bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto
Bauer, di dalam bukunya Die Nationaletatenfrage, di situ dinyatakan: “Was ist
eine Nation?” dan jawabnya ialah: “Eine Nation ist eine aus
Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft.” Inilah yang menurut
Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul
karena persatuan nasib).
Tetapi kemarin pun tatkala, kalau tidak salah Prof. Soepomo
menyitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata:
verouderd, sudah tua. Memang Tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah
verouderd, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest
Renan mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap
baru, atau ilmu baru, yang dinamakan geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Tuan
Munandar, mengatakan tentang “persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan
antara orang dan tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan
tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat
dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto
Bauer hanya sekadar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “gemeinschaft”
dan perasaan orangnya, l’ame et le desir. Mereka hanya mengingat karakter,
tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami oleh manusia
itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu Tanah Air. Tanah Air itu adalah satu
kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat
peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang
anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa
Kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan
satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara dua lautan yang besar, yaitu
benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan bahwa
pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil,
Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikian
pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi bahwa pulau-pulau Nippon
yang membentang pada pinggir timur benua Asia sebagai “golfbreker” atau
penghadang gelombang Lautan Pasifik, adalah satu kesatuan.
Anak kecil pun dapat melihat bahwa tanah India adalah satu
kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung
Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan bahwa Kepulauan Inggris
adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu
kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja,
bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus
Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah
satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, Tanah
Air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah Tanah Air kita. Indonesia yang
bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes
saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk
oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah
Tanah Air kita!
Maka jikalau saya ingat berhubungan antara orang dan tempat,
antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh
Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup le desir d’etre ensemble, tidak
cukup definisi Otto Bauer aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft
itu. Maaf Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa
Indonesia, yang paling ada desir d’etre ensemble adalah rakyat Minangkabau,
yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga.
Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil
daripada satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre
ensemble, tetapi Yogya pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan. Di
Jawa Barat, rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi
Sunda pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan.
Pendek kata, Bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukanlah
sekadar satu golongan orang yang hidup dengan le desir d’etre ensemble di atas
daerah yang kecil seperti Minangkabau atau Madura atau Yogya, atau Sunda, atau
Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut
geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua
pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya!
karena di antara manusia 70 juta ini sudah ada le desir d’etre ensemble, sudah
jadi Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia
jumlah orangnya adalah 70 juta, tetapi 70 juta yang telah menjadi satu, satu, sekali
lagi satu! (Tepuk tangan hebat).
Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu
nationale staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke
Irian. Saya yakin tidak ada sau golongan di antara Tuan-tuan yang tidak
mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke
sinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap
negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan
Saksen adalah nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venezia, bukan
Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah,
yang di utara dibatasi oleh Pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan
Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga
Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikianlah pula bukan semua negeri-negeri di Tanah Air kita
yang merdeka di zaman dahulu adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali
mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit. Di
luar itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat
kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat
kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran,
saya berkata bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoeddin di Sulawesi
yang telah membentuk Kerajaan Bugis, saya berkata bahwa tanah Bugis yang
merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah
berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan
bersama-sama. Karena itu, jikalau Tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil
sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia
yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan
Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang
bersama-sama menjadi dasar nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan
tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh
Paduka Tuan Fuku Kaityoo, Tuan menjawab, “Saya tidak mau akan kebangsaan.”
Tuan Lim Koen Hian: Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
Tuan Soekarno:
Kalau begitu maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena
Tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu banyak juga
orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka
memeluk paham kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa
Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa
Arab, tetapi semuanya menschheid, perikemanusiaan. Tetapi Dr Sun Yat Sen
bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa bahwa ada kebangsaan
Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku
sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A.
Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, katanya: Jangan berpaham kebangsaan,
tetapi berpahamlah kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan
sedikit pun. Itu terjadi pada tahun ’17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah,
ada orang lain yang memperingatkan saya, ialah Dr Sun Yat Sen! Di dalam
tulisannya San Min Chui atau The Three People’s Principles itu, saya mendapat
pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu.
Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh The Three
People’s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa
menganggap Dr Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga
seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat sehormat-hormatnya merasa
berterima kasih kepada Dr Sun Yat Sen –sampai masuk ke lubang kubur
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara, tetapi…tetapi…memang prinsip kebangsaan ini
ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi
chauvinisme, sehingga berpaham “Indonesia uber Alles.” Inilah bahayanya! Kita
cinta Tanah Air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang
satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bagian saja daripada dunia!
Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata, “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan
saya adalah perikemanusiaan.” “My nationalism is humanity.”
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang
menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang
mengatakan “Deutschland uber Alles”, tidak ada yang setinggi Jermania, yang
katanya bangsa minulya, berambut jagung dan bermata biru, “bangsa Aria” yang
dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang banga-bangsa lain tidak ada
harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata
bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia serta meremehkan bangsa
lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka,
tetapi kita harus menuju pula kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch
principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya
namakan “internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme
bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme yang tidak mau adanya kebangsaan, yang
mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada
Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak
berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur,
kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini,
Saudara-saudara, prinsip I dan prinsip II, yang pertama-tama saya usulkan
kepada Tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar
mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu
negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun
golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat
semua, semua buat satu”. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya
negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk
memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam –maaf beribu-ribu maaf,
keislaman saya jauh belum sempurna— tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya
punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak
bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam
mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal,
juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di
dalam badan perwakilan rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam
permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan
tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin
rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau kita memang rakyat
Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang
terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan,
diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang
bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup
berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita –pemimpin-pemimpin
menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin
utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan
rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya,
agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang
Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari
badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal
yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam
benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan
adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam.
Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau
demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir
saja. Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam
sidang ini berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu
maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal ini adalah satu bukti, bahwa Islam
belum cukup hidup sehidup-hidupnya di kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya
minta kepada Saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama
yang Islam, setujuilah prinsip nomor tiga ini, yaitu prinsip permusyawaratan,
perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada
satu staat yang hidup betul-betul hidup jikalau di dalam badan perwakilannya
tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada
perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat
Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat,
prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat Saudara-saudara Islam dan
Saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang
Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara
Indonesia harus menuruti Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian
besar daripada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah
Kristen. Itu adil, fair play! Tidak satu negara boleh dikatakan negara hidup,
kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada
perjuangan. Jangan kira di negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah
subhanahu wa taala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan
kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk, membersihkan
gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi
Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara, prinsip nomor 3,
yaitu prinsip permusyawaratan!
Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga
hari ini belum mendengar prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip:
tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsip San
Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy,
socialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang
kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua
orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku
oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Mana yang kita
pilih, Saudara-saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau badan perwakilan
rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita
sudah lihat, di negara-negara Eropa ada-lah badan perwakilan, ada-lah
parlementaire democratie. Tetapi tidakkah justru di Eropa kaum kapitalis
merajalela?
Di Amerika ada satu badan pewakilan rakyat, dan tidakkah di
Amerika kaum Kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak
lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan rakyat yang
diadakan di sana itu, sekadar menurut resepnya Fransche Revolutie. Tak lain tak
bukan adalah yang dinamakan democratie di sana itu hanyalah politieke
democratie saja, semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid –tak ada
keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali, Saudara-saudara.
Saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang
menggambarkan politieke democratie. “Di dalam Parlementaire Democratie,” kata
Jean Jaures, “di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak
sama. Hak politik sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh
masuk di dalam parlemen. Tetapi adakah ‘Sociale rechtvaardigheid, adakah
kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?” Maka oleh karena itu, Jean Jaures
berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam
parlemen dapat menjatuhkan minister. Ia seperti raja! Tetapi di dalam dia punya
tempat bekerja, di dalam pabrik –sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia
dapat dilemparkan keluar ke jalan raya, dibikin werkloos (di-PHK -red.), tidak
makan suatu apa.”
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi,
hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup,
yakni politiek-ekonomische democatie yang mampu mendatangkan kesejahteraan
sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang
dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu Adil, ialah sociale
rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa kurang
makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan di
bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul
mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip
hal sociale rechvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik,
Saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan
persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat,
hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democatie saja, tetapi badan
yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politeke
rechvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama,
Saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal
akan kita selesaikan, segala hal! Juga dalam urusan kepala negara, saya terus
terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie
“vooronderstelt erfelijkheid” –turun temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat
karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya
tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa
kepala-kepala negara, baik khalifah maupun amirul mukminin, harus dipilih
rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada
suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia,
dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya,
dengan otomatis, menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya
tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah
mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme atau kemanusiaan.
3. Mufakat atau demokrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka
dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan,
tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut
kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya
negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni
dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang
bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun
Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah hormat
menghormati satu sama lain. (Tepuk tangan sebagian hadirin).
Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang
veerdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah
menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang
kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip ke-5 daripada
negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti
yang luhur, Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta
raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa negara Indonesia Merdeka
berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan asas yang ke-5 inilah,
Saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan
mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di
situlah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang
tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar negara” telah saya usulkan.
Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di
sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang
kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita
lima setangan. Kita mempunyai panca indera. Apalagi yang lima bilangannya.
(Seorang yang hadir: Pendawa lima).
Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip
kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima pula
bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi –saya namakan ini dengan
petunjuk seorang teman kita ahli bahasa—namanya ialah Pancasila. Sila artinya
asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara
Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka akan
bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara
tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah
saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, weltanschauung kita.
Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan
perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan
socio-nasionalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi
politiek-economische democratie, yaitu politieke demokrasi dengan sociale
rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi
satu: Inilah yang dulu saya namakaan socio-democratie.
Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga,
socio-nasionalisme, socio-democratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada
simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan
senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya
jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara
Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen
buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat
Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat
Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia –semua buat semua! Jika saya peras
yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu
perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya!
Negara Gotong Royong! (Tepuk tangan riuh rendah).
“Gotong royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis
dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang
statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu
pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karya, satu
gawe. Marilah kita menyelesaikan karya, gawe, pekerjaan, amal ini,
bersama-sama! Gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama,
pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat
kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris
buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong! (Tepuk tangan riuh).
Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak
kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan
peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, Saudara-saudara, yang saya
usulkan kepada Saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi
terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila, ataukah
Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada Saudara-saudara semuanya.
Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara semuanya.
Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara ini, adalah
prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah
menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam
masa peperangan, Saudara-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita
mendirikan negara Indonesia –di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap
syukur alhamdulillah kepada Allah subhanahu wa taala, bahwa kita mendirikan
negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu
godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka,
Indonesia yang gemblengan. Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api
peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia
yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah
saya mengucapkan syukur kepada Allah subhanahu wa taala.
Berhubung dengan itu, sebagai diusulkan oleh beberapa
pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan
yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal
dan abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi,
Saudara-saudara, itulah weltanschauung kita. Entah Saudara-saudara
memufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945
sekarang ini untuk weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia,
untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup dalam
perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid, untuk
Ketuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak
berpuluh tahun. Tetapi, Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada
Saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya bahwa tidak
ada satu weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit
dengan sendirinya. Tidak ada satu weltanschauung dapat menjadi kenyataan,
menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan!
Jangan pun weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan
pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
“Der Mensch” –manusia!—harus perjuangkan itu. Sonder (tanpa
–red) perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak
menjadi realiteit sonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak
dapat menjadi kenyataan sonder perjuangan bangsa Tionghoa, Saudara-saudara!
Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: sonder perjuangan manusia,
tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, dapat menjadi
realiteit. Jangankan buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di
dalam kitab Quran, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma
menjadi realiteit sonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu
pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang
termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma sonder perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya
Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita
ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup
sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin
hidup di atas permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale
rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan Ketuhanan yang
luas dan sempurna, –janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah
perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan
berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak!
Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus
berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya.
Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus
menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila. Dan terutama di
dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insaflah, tanamkanlah dalam kalbu
Saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa
Indonesia tidak berani mengambil risiko, –tidak berani terjun menyelami mutiara
di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu
dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan
Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai
ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang
jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka, –merdeka atau mati!” (Tepuk
tangan riuh).
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas
pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf bahwa pidato saya ini menjadi
pbar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf,
karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya
anggap “verschrikkelijk zwaarwichtig” itu.
Terima kasih! (Tepuk tangan riuh rendah dari segenap
hadirin). []
Komentar
Posting Komentar