PIDATO LAHIRNYA PANCASILA 1 JUNI 1945
Pada tanggal 29 Mei sampai 1
Juni 1945 Badan Usaha -Usaha Persiapan Indonesia (BPUPKI) mengadakan sidang yang pertama di Jakarta, sidang dipimpin dr.KRT .Radjiman Wedyodiningrat.sidang slama 3 hari digelar dengan agenda tunggal yakni menjawab pertanyaan dr.KRT Radjiman Wedyodiningrat " Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti dasarnya apa ?
Secara bergantian anggota BPUPKI menyampikan pandangannya. Pada tanggal 1 Juni 1945 Sukarno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasr negara Indonesia.Tak ada waktu bagi Bung Karno untuk menyampaikan pendpatnya secara tertulis,namun susunan kalimat dan pilihan katanya bisa memukau peserta sidang BPUPKI yang waktu itu bernama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.
Pancasila yang dipidatokan Bung Karno tersebut diterima secara aklamasi sebagai dasar negara,akhirnya dibentuk panitia sembilan untuk merumuskan kembali pidato Pancasila tersebut. dan pada tanggal 18 Agustus 1945 secara sah Pancasila masuk ke dalam pembukaan UUD 1945 meski rumusannya ada sedikit ada perbedaan tetapi dasar-dasrnya ideologinya tetaplah sama.
PIDATO SOEKARNO: LAHIRNYA PANCA SILA
Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai
mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari
Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya.
Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan
Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang
Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah
nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu
diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia,
yaitu bukan d a s a r n y a Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta
oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda:"P h i l o s o f i sc h e g
r o n d s l a g" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen,
filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di
atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan
saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya
membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan
dengan perkataan „merdeka".
Merdeka buat saya ialah: „ p o l i t i c a l i n d e p e n d e n c e „, p o l i t i e k e o n a f h
a n k e l i j k h e i d . Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian!
Dengan terus-terang saja saya berkata:
Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya
banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan didalam bahasa asing,
ma’afkan perkataan ini - „zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil. „Zwaarwichtig"
sampai -kata orang Jawa- „njelimet".
Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani
menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan
dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negaranegara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang
merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok
merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir
merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya i s i itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka
harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya
kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya
terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa
tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar
belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn
Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi
Arabia merdeka!
Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia!
Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus
lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak
dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan
Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu
Lenin mendirikan negara Soviet itu.
Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak
macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan
punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu
dahulu semuanya!
Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya
tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia
merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang
kubur! (Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ‘33 saya telah
menulis satu risalah, Risalah yang bernama „Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di
dalam risalah tahun ‘33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke
onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu j e m b a t a
n e m a s . Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa d i s e b e r a n g n y a jembatan
itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam s a t u m a l a m, - in one night only! -,
kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu
malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! S e s u d a h „jembatan" itu
diletakkan oleh Ibn saud, maka d i s e b e r a n g jembatan, artinya k e m u d i a n d a r
i p a d a i t u, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat
membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai
nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih
tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, -
semuanya diseberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai
Djnepprprostoff*), dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai
radio-station, yang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api
cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka telah
dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan
emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio- station, baru
mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff!
Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian,
janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih
dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka.
Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau tuan-tuan demikian -,
dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda
ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia
Merdeka Sekarang! (Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah,
menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan
sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan
semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita
mempunyai semboyan „INDONESIA MERDEKA SEKARANG". Bahkan 3 kali
sekarang, yaitu Indonesia Merdeka s e k a r a n g , s e k a r a n g , s e k a r a n g ! (Tepuk
tangan riuh).
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok
lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -saudara, saya peringatkan sekali lagi,
Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan
tidak bukan ialah satu j e m b a t a n ! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat
sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai
Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang
bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul
Halim. Jikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada
sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke
onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan:
Indonesia merdeka, s e k a r a n g ! Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon
sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara
akan menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai
dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai Nippon
menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, s
e k a r a n g p u n kita menerima urusan itu, s e k a r a n g p u n kita mulai dengan negara
Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia,
Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang s a m a, yaitu, rakyat Saudi
Arabia sanggup m e m p e r t a h a n k a n negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup
mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya.
Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih
baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup m e m p e r t a h a n k a n negerinya
dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak
untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing,
saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada
saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
(Tepuk tangan riuh)
*) Yang dimaksud Dnepropetrovsk, suatu kawasan industri di mana terdapat bendungan
raksasa di sungai Dnepr, dan disitu dibangun stasiun pembangkit tenaga listrik yang
merupakan tulang punggung perindustrian Soviet Rusia (ket. - LSSPI)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun
demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan
perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang
berkata: Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah
mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah
mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu
kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya
berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja
satu, kursi empat, yaitu „meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia
sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen
dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu
zitje, satu tempat-tidur: kawin.
Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur, uang
bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana
yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau
Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
(Tepuk tangan, dan tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: k i t a i n i b e r a n i m e r d e k a a t a u t i
d a k?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya
yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai
dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari
yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau
tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara,
jika t i a p - t i a p orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di
dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi,
sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!
(Tepuk tangan riuh).
D i d a l a m Indonesia merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a k a n rakyat kita!! D i
d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a n hatinya bangsa kita! D i
d a l a m Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud m e m e r d e k a k a n rakyat Arabia satu
persatu. D i d a l a m Soviet-Rusia Merdeka Stalin m e m e r d e k a - k a n hati bangsa
Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia
tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit
hongerudeem, banyak ini banyak itu. „Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian
merdeka".
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum
merdeka. D i d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita,
walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita
untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. D i d a l a m
Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, d i d a l a m
Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan
perkataan „jembatan". Di seberang jembatan, j e m b a t a n e m a s, inilah, baru kita l e l
u a s a menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan
abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah
kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa
sebenarnya internationalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita?
Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan
syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat,
pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht. Cukup, saudarasaudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh
salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak
peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak,
tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai
syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada
pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang
bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau
tidak? (Jawab hadlirin: Mau!)
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal „merdeka",maka sekarang saya
bicarakan tentang hal d a s a r.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua
kehendaki! Paduka tuan Ketua minta d a s a r , minta p h i l o s o p h i s c h e g r o n d s
l a g , atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan
Ketua yang mulia meminta suatu „Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan negara
Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak
diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu„Weltanschauung". Hitler
mendirikan Jermania di atas „national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat
nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler
itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu „Weltanschauung", yaitu Marxistische,
Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai
Nippon di atas satu „Weltanschauung", yaitu yang dinamakan „Tennoo Koodoo Seishin".
Diatas „Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn
Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu „Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar
agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia:
Apakah „Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang
merdeka?
Tuan-tuan sekalian, „Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati
kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di
seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam
„Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk me"realiteitkan"„Weltanschauung"
mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang
terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka
didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun
menurut perkataan John Reed: „Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin c.s.", -
John Reed, di dalam kitabnya:„Ten days that shook the world", „sepuluh hari yang
menggoncangkan dunia" -, walaupun Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari,
tetapi „Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan,
dan ditempatkan negara baru itu diatas „Weltanschauung" yang sudah ada. Dari 1895
„Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905,Weltanschauung itu
„dicobakan", di „generale-repetitie-kan".
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau
sendiri „generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917,
„Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya
dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan
negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas „Weltanschauung" yang
telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania
di atas National-sozialistische Weltanschauung.
Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya „Weltanschauung" itu? Bukan di
dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian
mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, „Weltanschauung" ini, dapat menjelma
dengan dia punya „Munschener Putsch", tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang
saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas
dasar„Weltanschauung" yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka
tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah „Weltanschauung" kita, untuk mendirikan
negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historischmaterialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi
„Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan,
dirancangkan. Di dalam buku „The three people"s principles" San Min Chu I, - Mintsu,
Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh
doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan
negara baru diatas „Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu
berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas „Weltanschauung" apa?
Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau „Weltanschauung’
apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah
dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman,
perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari
persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari p e r s a t u a n p h i l o s o p h i s c h e
g r o n d s l a g , mencari satu „Weltanschauung" yang k i t a s e m u a setuju. Saya
katakan lagi s e t u j u ! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki
Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen
Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan
compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita b e r -s a m a - s a m a
setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak
mendirikan Indonesiamerdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?
Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi
sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada
satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama
kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam,
semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita
hendak mendirikan suatu negara „semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat
satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi „semua
buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang
selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di
dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun
yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah
dasar
k e b a n g s a a n.
K i t a m e n d i r i k a n s a t u n e g a r a k e b a n g s a a n I n d o n e s i a.
Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain:
maafkanlah saya memakai perkataan „kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya
minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya
katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar k e b a n g s a a n . Itu bukan
berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu n a s i on a
l e s t a a t, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari
yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai
saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa
Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia,
datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan
Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah,
kita dasarkan negara Indonesia.
S a t u N a t i o n a l e S t a a t ! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di
dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah
saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan
bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah „kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya
merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa: „le desir d’etre ensemble", yaitu kehendak akan
bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu
gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya „Die
Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: „Was ist eine Nation?" dan jawabnya ialah: „Eine
Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft".
Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul
karena persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan,
maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: „verouderd",„sudah tua". Memang
tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah „verouderd", sudah tua. Definisi Otto
Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu
belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar,
mengatakan tentang „Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan
tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang
ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya.
Mereka hanya memikirkan „Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, „l’ame et desir".
Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi
yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu t a n a h a i r . Tanah air
itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau
kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana„kesatuan-kesatuan" disitu.
Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa
kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu
kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan
yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan
benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau
Jawa,Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lainlain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan.
Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau
Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai„golfbreker" atau
pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan,
dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula
dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau
Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t.
demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi
Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap
kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut
geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja,
bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku
saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan
antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan
buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer
itu. Tidak cukup „le desir d’etre ensembles", tidak cukup definisi Otto Bauer „aus
schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft" itu. Maaf saudara-saudara,
saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa di Indonesia, yang paling ada
„desir d’entre ensemble", adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5
milyun.
Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan,
melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun
adalah merasa „le desir d"etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari
pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan „le desir d’etre
ensemble", tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang
yang hidup dengan „le desir d’etre ensemble" diatas daerah kecil seperti Minangkabau,
atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah s e l u r
u h manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal
dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! S
e l u r u h n y a !, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada „le desir d’etre
enemble", sudah terjadi „Charaktergemeinschaft"! Natie Indonesia, bangsa Indonesia,
ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah
menjadi s a t u, s a t u, sekali lagi s a t u ! (Tepuk tangan hebat).
Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan
bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan
diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan
„golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu
nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat,
tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia,
bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah,
yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan
Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi
nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka dijaman
dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di
jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale
staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata
dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram,
meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu
Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan
persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di
Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada
Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata,
bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia s e l u r u h n y a, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya
dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau
tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: K e b
a n g s a a n I n d o n e s i a . Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa,
bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lainlain,tetapi k e b a n g s a a n I n d o n e s i a, yang bersama-sama menjadi dasar satu
nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam
pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab:
„Saya tidak mau akan kebangsaan".
T U A N L I M K O E N H I A N :
Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
T U A N S O E K A R N O :
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun
menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang
tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang
mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak
yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa
Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi
semuanya „menschheid",„peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi
pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku,
pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya
dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran
kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa
kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada
tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan
saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya „San Min Chu I" atau „The Three
People’s Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang
diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah r a s a k e b a n g s a a
n, oleh pengaruh „The Three People"s Principles" itu.
Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen
sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan
perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, -
sampai masuk kelobang kubur. (Anggauta-anggauta Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip
kebangsaan ini ada b a h a y a n y a ! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan
nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham „Indonesia uber Alles". Inilah
bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai
bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari
pada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: „Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan „My nationalism is humanity".
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan
chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan„Deutschland
uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo,
berambut jagung dan bermata biru, „bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas
dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas
demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan
termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia,
persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju
pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang
saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan„i n t e r n a s i o n a l i m e".
Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud k o s m o p o l i
t i s m e, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak
ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya
nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang
pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu
sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan,
dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan
satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara
„semua buat semua", „satu buat semua,
semua buat satu". S a y a y a k i n s y a r a t y a n g m u t l a k u n t u k k u a t n y a n
e g a r a I n - d o n e s i a i a l a h p e r m u s y a w a r a t a n p e r w a k i l a n .
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun,
adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, --
tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati,
tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.
Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam
permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan
agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan
Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan
perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah
kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi
perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya,
agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang
kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang
bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup
berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin
menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusanutusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100
orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70,
80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka
Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu,
hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi,
barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat,
sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam,
ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, h i
d u p l a h Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja. Kita berkata,
90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang
memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal
itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan
rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan
Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip
permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya.
Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya
tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan
faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan
selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat!
Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen
bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter
di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah matimatian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan
perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara
boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di
Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran
pikiran. Allah subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam
pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan
gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang
sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip
permusyawaratan
Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan
prinsip itu, yaitu prinsip k e s e j a h t e r a a n , p r i n s i p : t i d a k a k a n a d a k e
m i s k i n a n d i d a l a m I n d o n e s i a M e r d e k a. Saya katakan tadi:
prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy,
sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum
kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat #sejahtera, yang semua orang cukup
makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi
yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudarasaudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita
dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara
Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah
diEropah justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis
merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada
badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan
perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche
Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah p o
l i t i e- k e democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak ada k
e a d i l a n s o s i a l, tidak ada e k o n o m i s c h e democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang
menggambarkan politieke democratie. „Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean
Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak p
o l i t i e k yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam
parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di
kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: „Wakil kaum buruh
yang mempunyai hak p o l i t i e k itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister.
Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang
ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos,
tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan
demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni p o l i ti e k - e c o
m i s c h e democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat
Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil?
Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin
sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian,
menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil.
Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta
rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan
saja persamaan p o l i t i e k, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan e k o n o m i
kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan
permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang b e r sa m a d e n g a n m
a -s y a r a k a t dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale
rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama,saudara-saudara, di dalam badan
permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di
dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa
sebab? Oleh karena monarchie „vooronderstelt erfelijkheid", - turun-temurun. Saya
seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat,
maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam
mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus
dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau
pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan
mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan
automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat
kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat, - atau demukrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya:
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Prinsip K e t u h a n a n ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan
menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad
s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap
rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme-agama".
Dan hendaknya N e g a r a Indonesia satu N e g a r a yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang b
e r k e a d a b a n . Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah h o r m a t - m e n g h o r m
a t i s a t u s a m a l a i n . (Tepuk tangan sebagian hadlirin).
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid,
tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan
verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai
dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah K e t u h a n
a n y a n g b e r k e b u d a y a a n, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur,
Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau
saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan
Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama
yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan
Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita
mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! „Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah
Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti
kewajiban, sedang kita membicarakan d a s a r. Saya senang kepada simbolik. Simbolik
angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca
Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa lima). Pendawapun lima oranya. Sekarang banyaknya
prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula
bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang
teman kita ahli bahasa namanya ialah P a n c a S i l a. Sila artinya azas atau d a s a r,
dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuktangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah
„perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasardasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan
dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah
yang dahulu saya namakan
s o c i o - n a t i o n a l i s m e .
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie,
yaitu politieke demokrasi d e n g a n sociale rechtvaardigheid, demokrasi d e n g a n
kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan
s o c i o -d e m o c r a t i e.
Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan
ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi
barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar
saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu
itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang k i t a s e m u a
harus men-dukungnya. S e m u a b u a t s e m u a ! Bukan Kristen buat Indonesia,
bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito
yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - s em u a b u a t s e m u a !
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga
menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan „
g o t o ng - r o y o n g „.
Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara g o t o n g r o y o n g! Alangkah
hebatnya! N e g a r a G o t o n g R o y o n g !
(Tepuk tangan riuh rendah).
„Gotong Royong" adalah faham yang d i n a m i s , lebih dinamis dari„kekeluargaan",
saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong
menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang
terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe.
Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, b e r s a m a- s a m a !
Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama,
perjoangan bantu-binantu bersama. A m a l semua buat kepentingan semua, k e r i n g a
t semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!
Itulah Gotong Royong! (Tepuktangan riuh rendah).
Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan
yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa
Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan,
mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah saya
katakan kepada saudara-saudara semuanya.Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan
kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan
tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup
didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita
mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap
syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata’ala, bahwa kita mendirikan negara
Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam
peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang
gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia
Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia
yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah
s.w.t.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi,
barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya,
isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila.
Sebagai dikatakan tadi,saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah
saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai
1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia,
untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan.
Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun.
Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri
mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan
sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat
menjadi kenyataan, menjadi r e a l i t e i t , jika tidak dengan p e r j o an g a n !
Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan
Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
„D e Mensch", -- manusia! --, harus p e r j o a n g k a n itu. Zonder perjoangan itu
tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder
perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder
perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi
dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita
agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah
Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak
dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat
Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang
termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu,
menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan
perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna
dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan keTuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira
bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah
berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata: D i - d a l a m Indonesia Merdeka itu perjoangan
kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain
coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus
menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam
zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara,
bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil
risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalamdalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak
menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan
menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman!
Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobarkobar dengan tekad „Merdeka, -- merdeka atau mati"!
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-sauadara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua.
Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta
tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik
terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap„verschrikkelijk zwaarwichtig" itu.
Terima kasih!
Disalin dari buku LAHIRNYA PANCASILA, Penerbit Guntur, Jogjakarta, Cetakan
kedua, 1949
Publikasi 28/1997 LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK IND0NESIA
Merdeka!!!
BalasHapusMerdekaaa!!!!!!!!!
BalasHapus