- Pertama, anak sama sekali meninggalkan sekolah (absen terus menerus), atau
- Kedua, anak masuk sekolah tetapi kemudian meninggalkan sekolah sebelum jam sekolah usai, atau
- Ketiga, anak mengalami perilaku bermasalah yang berat setiap pagi menjelang pergi ke sekolah, misalnya mengamuk, atau
- Keempat, anak pergi ke sekolah dengan kecemasan yang luar biasa dan di sekolah berulang kali mengalami masalah (misalnya pusing, ke toilet, berkeringat dingin).
Wenar (dalam Auli, 2015) menyebutkan bahwa fobia sekolah merupakan suatu ketakutan yang irrasional (tidak masuk akal) pada beberapa aspek situasi sekolah yang diikuti dengan gejala-gejala kecemasan atau panik, gejala secara fisiologis yang datangnya tiba-tiba dan mengakibatkan anak tidak bisa pergi sekolah (baik sebagian jam sekolah bahkan sama sekali tidak bersekolah).
Durlak (Ampuni & Andayani, 2007) menyatakan adanya emotional distress yang dialami anak-anak dengan fobia sekolah ini, yang ditandai dengan rasa takut yang kurang beralasan jika harus pergi ke sekolah. Mereka bisa sangat merasa ketakutan dan mereka tidak mau meninggalkan rumah. Anak-anak yang mengalami fobia sekolah, ketika hari itu dia harus sekolah biasanya akan mengeluh sakit kepala, sakit perut, sakit tenggorokan maupun yang lain ketika bangun tidur. Namun, ketika mereka sudah kembali berada di rumah tiba-tiba sakit itu menghilang dan akan timbul lagi keesokan harinya ketika dia harus berangkat sekolah lagi.
Tipe-tipe Fobia Sekolah
Tingkatan dan Jenis Penolakan Terhadap Sekolah Para ahli menunjuk adanya beberapa tingkatan fobia sekolah, mulai dari yang ringan hingga yang berat (fobia), yaitu (dalam Rini, 2002):
Initial school refusal behavior, adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (seketika/ tiba-tiba) yang berakhir dengan sendirinya tanpa perlu penanganan.
Substantial school refusal behavior, adalah sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu.
cute school refusal behavior, adalah sikap penolakan yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah
Chronic school refusal behavior, adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan selama anak tersebut bersekolah di tempat itu
Faktor-faktor Penyebab Fobia Sekolah
Penyebab terjadinya fobia sekolah bervariasi, namun secara umum Setzer & Salzhauer (2006, dalam Ampuni & Andayani, 2007) menyebutkan empat alasan untuk menghindari sekolah yaitu:
- Pertama, untuk menghindari objek-objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah yang mendatangkan distress
- Kedua, untuk menghindar dari situasi yang mendatangkan rasa tidak nyaman baik dalam interaksi dengan sebaya atau dalam kegiatan akademik
- Ketiga, untuk mencari perhatian dari significant others di luar sekolah, dan
- Keempat, untuk mengejar kesenangan di luar sekolah.
Fobia sekolah juga biasanya dikaitkan dengan masalah atau faktor keluarga. Ada kaitan fobia sekolah pada anak yang pola interaksi kurang sehat dalam keluarga, misalnya adanya ketergantungan yang berlebihan antar anggota keluarga, masalah komunikasi, serta masalah pembagian peran dalam keluarga (Fremont, 2003; Hogan, 2006, dalam Ampuni & Andayani, 2007).
Anak dengan fobia sekolah biasanya juga menunjukkan tipe kepribadian yang khas. Hogan (2006) menyebutkan mereka cenderung mempunyai kepribadian yang sensitive, peka terhadap kritik dan evaluasi. Mereka kurang mampu mengelola emosi. Gelfand dan Drew (2003) menyatakan bahwa sebagian anak yang mengalami fobia sekolah adalah perfeksionis yang menunjukkan perhatian berlebihan tentang performansi akademik (dalam Ampuni & Andayani, 2007).
Faktor Predisposisi dan Presipitasi Contoh
Individu • sensitif terhadap stress, temperamental, kecemasan, onset dari depresi
• tidak hadir ke sekolah karena mengalami masalah kesehatan
• kesulitan dalam masalah akademik
• penguatan negatif melalui penghindaran terhadap aspek yang penuh stres di sekolah
• rendahnya efikasi diri
• depresi yang berkelanjutan.
Keluarga dan lingkungan rumah
• orang tua dalam kondisi sakit
• masalah pernikahan dan masalah keluarga lainnya (kesulitan dalam masalah perekonomian, tekanan/ tuntutan dalam pekerjaan, masalah hubungan sosial)
• menolak sekolah karena adanya persaingan dengan saudara
• ibu selalu mengkomentari prestasi
• penguatan positif melalui akses berbasis pengalaman di rumah
• televisi, komputer, binatang peliharaan, makanan, perhatian orang tua)
• pendekatan orangtua yang tidak konsisten terhadap pengelolaan tentang ketidakhadiran)
• menurunnya efektifitas orangtua (kurangnya perhatian terhadap kemajuan anaknya, penerapan perintah yang tidak efektif
• Adanya distres orangtua dan rendahnya efikasi diri.
Sekolah
• pengalaman tidak menyenangkan di sekolah (bullying, yang dilakukan sekelompok murid, pengalaman tidak menyenangkan ketika di kelas bersama guru, terkucilkan dari kelompok)
• ujian/ tes, presentasi di kelas, pelajaran olah raga di kelas, dan sebagainya
• adanya perubahan di sekolah
• tidak pernah meraih kesuksesan di sekolah
• komunikasi antara keluarga dengan sekolah yang minimal
• tidak adanya respon /perhatian terhadap kembalinya anak masuk ke sekolah
• tidak adanya pemberitahuan dan dukungan staf sekolah terhadap ketidakhadiran anak
Faktor kelompok atau grup
• meningkatnya persaingan dalam akademik
• masalah ekonomi yang berpengaruh pada keefektifan sekolah
• kekerasan/peristiwa traumatik disekitar lingkungan sekolah
• kurangnya dukungan dari orangtua/keluarga dalam menghadapi school refusal
• Saran dari profesional yang tidak konsisten/ pendekatan terhadap managemen/pengelolaan ketidakhadiran
Penanganan atau Tritmen Fobia Sekolah
Penanganan atau tritmen pada anak-anak yang mengalami fobia sekolah harus ditujukan untuk mengembalikan mereka ke sekolah seawal mungkin (Fremont, 2003). Tritmen yang efektif sebaiknya segera dilakukan untuk mencegah permasalahan-permasalahan yang akan timbul di kemudian hari, sehingga fobia sekolah harus ditangani sedini mungkin (Hogan, 1996). Dalam Fremont (2003) disebutkan bahwa pilihan tritmen antara lain meliputi edukasi dan konsultasi, pendekatan perilaku, intervensi yang melibatkan keluarga, dan mungkin juga dengan cara farmakoterapi.
Terapi dengan pendekatan educational support menunjukkan hasil yang efektif sebagai terapi perilaku untuk manajemen fobia sekolah. Terapi yang melibatkan sesi secara individu memasukkan latihan relaksasi (untuk membantu anak ketika dia mendekati lingkungan sekolah atau ditanyai teman sebayanya), terapi kognitif (untuk mengurangi kecemasan yang memunculkan berbagai pemikiran dan menyiapkan pernyataan coping), training social skills (untuk mengembangkan kompetensi sosial dan interaksi dengan teman sebaya), dan desensitisasi (misalnya emotive imagery, sentisisasi yang sistematis). Intervensi yang melibatkan orangtua dan guru merupakan faktor yang membantu untuk mencapai tritmen yang efektif. Personil yang ada di sekolah sebaiknya merupakan orang pertama yang dilibatkan dalam menangani permasalahan (Ampuni & Andayani, 2007).
Penanganan dengan medikasi (medikamentosa: golongan SSRI dan Benzodiazepin dalam jangka pendek) dan CBT juga efektif menurunkan kecemasan (59%), dengan pilihan obat Sertralin misalnya menunjukkan keberhasilan 54,9% (Kendal, 1994, 1997; Walkup et al., 2008; Stallard, 2013). Sementara teknik CBT terdiri atas
1) desensitisasi sistematik,
2) terapi implosive dan pembanjiran,
3) latihan assertive,
4) terapi aversi,
5) pengkondisian operan,
6) positive reinforcement,
7) pembentukan respon,
8) intermiten reinforcement,
9) penghapusan,
10) modelling/ pencontohan,
11) Token ekonomi (Corey, diterjemahkan Koswara, 2005, dalam Ermiati & Ghozali, n.d.).
Sumber :https://sehatmental.net/fobia-sekolah/
Komentar
Posting Komentar